🍪

Apa kabar?
Pertanyaan itulah yang acap kali kutunggu—muncul di atas layar ponsel. Namun, tak kunjung jua keterima. Barangkali hati ini masih tertaut padanya yang memang tak akan kembali kepada yang bukan tempat peraduannya.

Ujian yg paling sulit dalam hidup, selain mengontrol diri dari keserakahan & ketidakpuasan adalah diberi perasaan cinta kepada manusia melebihi cinta kepada Tuhan itu sendiri. Mengapa aku diberikan perasaan semacam ini? Ya, untuk selalu mengingat, bahwa tiada cinta yg lebih tulus daripada cinta-NYA.

Aku mencintainya karena hati, namun dia mencintaiku karena mata. Hatiku terluka, kini dia mencari pemandangan baru. Ironisnya, mengapa harus orang terdekatku?

Semoga aku dan kamu dipertemukan lagi pada panggung yang baru.

Ada hal yang tak bisa diredam hanya dengan mediasi. Maka dari itu, aku minta maaf.

Untuk menjalani kehidupan ini, aku hanya ingin menjadi sangat, sangat, sangat, kuat. Itu lebih dari cukup.

Ini memang terlalu sulit. Namun kusadari, takkan ada perubahan jika aku tak bertindak.

Laki-laki itu—Dia pikir, dia pahlawan karena menikahi wanita yang tampak menyedihkan. Namun, tanpa ia sadari, bahwa yang ia lakukan perlahan akan menghancurkan perasaan orang yang, menurutnya, telah ia selamatkan.

Terdengar lucu, tapi setiap orang pasti mengkhawatirkan masa depan.

Maka dari itu, mengapa aku kesulitan untuk mencintai seseorang lagi, sebab, pada akhirnya orang yang kucintailah yang akan paling menyakitiku.

Aku seperti terbiasa dijauhi, sampai-sampai ini adalah hal yang wajar bagiku. Disakiti oleh banyak orang.

Takkan ada lagi, orang yang penasaran; bertanya "apa yang terjadi kepadaku?"
Bahkan, kini aku hanya berdiri sendiri di antara angin, di tengah hamparan rumput yang berdesir. Apakah, rumput itu bicara kepadaku, ya, sepertinya aku mendengar bisikannya. Bisikan... bahwa aku hanya sendirian.

Akankah esok akan ada yang bertanya, apa aku perlu dihibur? Sepertinya tak ada lagi orang yang akan peduli; aku sedih, atau kesepian.

Tapi sekarang, aku jadi bimbang, aku kesal, karena berprasangka buruk.

Dia tak pernah bertanya, apa yang kuinginkan, yang kusukai. Sebagaimana yang kulakukan kepadanya, yang kutanyakan kepadanya setiap hari.

Begini, aku harus melakukan sesuatu yang menguntungkan kita bersama. Sedang, yang kulakukan dengan sukarela—dia tak pernah mau tahu. Dia peduli, tapi tak pernah mau tahu. Apa aku salah, kalau memandang ini sebagai keegoisan?

[2] Namun, pada akhirnya aku mengerti; tidak penting bagiku bukan berarti tidak penting bagi mereka. Seperti hiburan bodoh yang membuat mereka tertawa, misal.

Terkadang aku merasa heran, mengapa manusia suka membuang-buang waktu demi hal yang tidak penting. Padahal seperti yang kita tahu, bahwa kematian cuma masalah waktu.